POLA PENYEBARAN PEMUKIMAN DAN KEHIDUPAN SOSIAL NELAYAN KAMPUNG BANDARAN

Senin, 07 Juli 2008
oleh: Dwi Defriani



ABSTRAK

Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai luas wilayah perairan. Garis pantainya mencapai lebih 81.000 km. Dari 67.439 desa di Indonesia, kurang lebih 9.261 desa digolongkan sebagai desa pesisir. Sebagian besar dari masyarakat pesisir tersebut bermata pencarian sebagai nelayan. Seiring berjalannya waktu kampung-kampung nelayan tersebut berkembang. Sebagian berkembang mengikuti garis pantai yang kemudian memanfaatkan pantai bukan hanya sebagai tempat tinggal dan membangun perekonomian, namun juga sebagai derah pariwisata. Sebagian lain memanfaatkan aliran sungai yang bermuara ke laut sebagai areal yang aman untuk bermukim.

Perkembangan pemukiman yang memanfaatkan sungai inilah yang menjadi objek penelitian yaitu Kampung Bandaran yang terletak di Kabupaten Bangkalan, Madura. Sungai yang berfungsi sebagai jalur transportasi yang kemudian dimanfaatkan juga sebagai tambatan perahu nelayan. Rumah merupakan tempat tinggal yang berfungi untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Bagi nelayan, rumah selain sebagai tempat perlindungan, juga merupakan sarana pendukung aktivitas melaut. Desain rumah nelayan di kampung Bandaran menunjukkan adanya perubahan yang disebabkan adanya pembauran nilai-nilai budaya yang sudah ada dan masuknya bentuk budaya baru dan menggeser makna simbolis dari rumah di kampung nelayan tradisional.



Kata-kata kunci : nelayan, pemukiman, sungai, Bandaran.



Pendahuluan

Kawasan perdesaan dan perkampungan dalam konteks pengembangan wilayah di Indonesia mempunyai kedudukan yang cukup penting. Hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah Indonesia masih didominasi oleh kawasan perdesaan. Menurut Harun (1997), secara agreratif nasional, apabila dilihat dari tingkat perdesaannya (lingkungan tempat tinggal, kegiatan utamanya pertanian) pada akhir abad ke-20 sampai dengan awal abad ke-21 lebih dari 60% masyarakat Indonesia hidup di lingkungan perdesaan. Hal itu berarti bahwa kehidupan Bangsa Indonesia masih didominasi oleh cara dan ciri hidup perdesaan (rural way of life). Pertumbuhan kawasan perdesaan diharapkan dapat berjalan seiring dengan kemajuan kawasan perkotaan sesuai dengan konsep trickle down effect dalam konsep pertumbuhan. Variabel yang akan dikaji adalah variabel sosial, ekonomi dan budaya termasuk di dalamnya adalah kondisi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang ada.

Kampung Bandaran merupakan salah satu kampung nelayan yang berada di Kabupaten Bangkalan, yang merupakan sebuah kabupaten di Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Bangkalan. Kabupaten ini terletak di ujung paling barat Pulau Madura yang besar pulaunya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali); berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Sampang di timur, serta Selat Madura di selatan dan barat.

Madura Barat, sebagai salah satu wilayah di Pulau Madura, dalam tautan regional kedudukan dan perannya cukup strategis. Karena wilayah ini menjadi pintu gerbang Pulau Madura, maka tidak tertutup kemungkinan seluruh aspek budaya luar masuk ke wilayah tersebut. Budaya masuk melalui baik masyarakat luar yang membawa aspek budaya aslinya, maupun masyarakat Madura sendiri merantau dan kembali membawa aspek budaya perantauan. Hal ini telah ditunjukkan oleh sejarah kebudayaan Madura (De Graff, 74 : 210 : Tjiptoadmodjo, 83 : 298).

Kampung Bandaran termasuk perkampungan nelayan tradisional khas Madura. Namun seiring perkembangan arus informasi dan transportasi, menyebabkan adanya perkembangan dan pergeseran arsitektur yang semula merupakan arsitektur tradisional cenderung meniru arsitektur luar daerah dimana bangunannya telah bersifat permanen.


Bagian Inti


Kabupaten Bangkalan





Kabupaten Bangkalan terletak di ujung barat pulau Madura, secara geografis - Bujur Timur 1120 40’ 06” – 1130 08’ 04”- Lintang Selatan 60 51’ 39” – 70 50’. Dengan batas-batas wilayah : Batas Wilayah Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Madura, Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Madura, Sebelah Timur berbatasan dengan Kab. Sampang. Dari segi geografis ini Kab. Bangkalan mempunyai keuntungan yang sangat strategis, karena berdekatan dengan Surabaya yang merupakan pusat perdagangan di Jawa Timur. Kabupaten Bangkalan merupakan daerah Pengembangan Industri GERBANG KERTASUSILA, dan termasuk dalam Pengembangan Kota Surabaya atau yang lebih dikenal dengan Surabaya Urban Development Policy. Kabupaten Bangkalan terdiri dari 18 kecamatan, 281 desa, dengan luas wilayah 1.260,14 km².

Potensi sumber daya alamnya yang meliputi beberapa sektor yaitu pertanian, peternakan, perikanan, dan pertambangan serta sektor pariwisata, merupakan produk - produk andalan dan investasi yang sangat potensial bagi Kabupaten Bangkalan. Dengan dibangunnya jembatan penyeberangan SURAMADU, yang menghubungkan secara langsung jalur darat antara Surabaya dan Bangkalan, tentunya akan berdampak positif bagi pengembangan Industri Perdagangan dan Investasi di Kabupaten Bangkalan sesuai dengan potensi yang ada.

Beberapa keunggulan kompetitif yang dimiliki Kabupaten Bangkalan antara lain :
- Letak Geografis
- Potensi Alam
- Kedekatan dengan Surabaya sebagai pintu gerbang Pulau Jawa
- Kemudahan dan fasilitas untuk investasi yang diberikan Pemerintah Kabupaten Bangkalan

Sumber daya manusia yang ada di Kabupaten bangkalan, dimana penduduknya sangat agamis dan mayoritas beragama Islam, diharapkan siap untuk menerima perkembangan di segala bidang terutama perkembangan disektor Industri Perdagangan dan Penanaman Modal, dimana kita dituntut untuk mampu bersaing dalam kemajuan teknologi dan perdagangan dunia.

Secara umum, Provinsi Jawa Timur memiliki wilayah perairan laut seluas 208.097 km² mencakup zona ekonomi eksklusif atau garis pantai sekitar 2.916 km. Sebagai daerah penangkapan ikan dan pengelolaan sumber daya laut, wilayah yang mencapai empat kali luas daratan Jatim itu terbagi menjadi laut utara (Tuban, Lamongan, Gresik, dan Surabaya).

Empat wilayah lainnya terdiri dari kepulauan, yakni Selat Madura teridiri dari Kab. Pamekasan, Sampang, Bangkalan, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan perairan laut utara Kab. Banyuwangi, Laut Muncar/Selat Bali, serta laut selatan/Samudra Indonesia (Kab. Banyuwangi bagian selatan, Jember, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek dan Pacitan).

Adapun jenis ikan yang dapat ditangkap di perairan Jatim dapat dikelompokkan antara lain pelagis besar meliputi berbagai jenis tuna, cakalang, marlin, tongkol, tengiri, cucut. Pelagis kecil terdiri layang, selar, sunglir, lemuru, siro, kembung. Banyak pula kelompok ikan demarsal yakni kakap merah, kerapu, manyung, pari, bawal, layur, peperek, kuniran, beloso dan sebagainya. Hasil yang merupakan tangkapan untuk pulau Madura sendiri sebesar 56.000 ton (berdasarkan data yang diperoleh dari Bisnis dari Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Timur.


Kampung Bandaran

Kampung Bandaran yang berjarak merupakan jenis perkampungan nelayan yang berjarak 20 km dari Pelabuhan Kamal ini merupakan pintu gerbang Madura terdapat di Kabupaten Bangkalan yang termasuk perkampungan nelayan tradisional khas Madura. Penghuni kampung ini, sejak dulu mengandalkan hasil laut sebagai sumber utama kehidupan mereka. Terutama ikan laƕbang alias dorang. Permintaan akan ikan ini memang sangat gencar. Harganya pun lumayan tinggi. Ikan Dorang tersebut kebanyakan diekspor ke Singapura. Sesungguhnya tidak mudah menjadi nelayan khusus penangkap ikan dorang. Ikan yang bentuknya pipih ini muncul pada saat arus deras, se mentara arus deras ada setiap setengah bulan. Selain itu, ikan dorang hanya muncul pada musim Timur, yang berlangsung selama 4 - 6 bulan dalam setahun. Jenis ikan yang bisa di dapat dari perairan Selat Madura adalah kerapu, teri, keting, sembilang, udang, dan cumi.

Kampung Bandaran ini merupakan sebuah perkampungan yang mengikuti alur sungai dimana sungai merupakan jalur transportasi bagi nelayan yang akan menghantarkan hasil tangkapannya ke daratan dan kemudian dijual. Di sungai atau biasa disebut dengan sebutan kali Bangkalan inilah kemudian nelayan menambatkan perahunya.




Puluhan perahu tampak tertambat di sepanjang sungai. Sejumlah perahu yang bercat warna-warni menunjukkan, nelayan di perkampungan tersebut punya cita rasa seni tersendiri. Bentuk-bentuk perahu yang diteliti dengan cermat oleh Sulaiman BA mencatat, pada 1978 ada 32 jenis bentuk perahu Madura yang masih beroperasi dan dibuat orang. Bentuk-bentuk itu kini sudah semakin sedikit jumlahnya, setelah orang ramai-ramai membuat perahu yang lebih mudah untuk ditempeli mesin. Sisi artistik, agaknya sudah kurang diperhatikan lagi, kecuali di beberapa tempat yang masih mau bertahan.


Aktivitas Kampung Bandaran

Nelayan pada kampung nelayan Bandaran ini memulai aktivitasnya ke laut pada malam hari. Berangkat sekitar pukul 7 malam jika air laut pasang yaitu pada bulan Juli-Oktober pada perairan selat Madura. Namun waktu-waktu berangkat itu tidaklah merupakan suatu ketentuan. Kadang kala nelayan berangkat lebih sore atau lebih malam, semua tergantung kepada tingginya permukaan air laut dan arah angin yang membantu perahu mereka ke tengah lautan meskipun nelayan telah menggunakan perahu motor.

Kita memulai perjalanan melalui balai RW, kita dapat merasakan bagaimana kampung nelayan ini tetap menampilkan ciri khas sebuah kampung nelayan. Yaitu dengan adanya berbagai kegiatan nelayan yang baru pulang dari kegiatan menangkap ikan. Mulai dari yang masih ada di perahunya, menimbang hasil tangkapan, menjual hasil tangkapan hingga aktivitas lainnya misalnya membuat jaring. Aktivitas ini tak hanya dilakukan oleh para lelaki yang berprofesi sebagai nelayan tetapi juga dilakukan oleh para wanita.

Semakin masuk ke dalam lingkungan kampung nelayan ini semakin membawa kita terhanyut akan suasana para nelayan. Keramah-tamahan dan keterbukaan para penghuni kampung yang bersedia menerima pengunjung dengan senang hati, menunjukkan besarnya rasa kekeluargaan yang mereka miliki antar sesama.






Tradisi Masyarakat

Sudah sejak lama Madura telah menjadi pembicaraan masyarakat, sekalipun pulau yang satu ini tidak besar akan tetapi penduduknya mempunyai kepribadian yang khas dan menarik untuk dibicarakan. Bila bepergian ke seantero kepulauan di Indonesia hampir dapat dipastikan kita akan bertemu dengan orang yang berasal dari Madura. Secara tidak langsung dengan memperhatikan keadaan sekitar kita dapat mengetahui kebiasaan dari orang Madura yang berada di sekitar kita meskipun mereka tidak lagi berada di pulau Madura, namun kebiasaan memang sudah mendarah daging.

Ada beberapa tradisi yang sudah melekat pada orang Madura, begitu pula yang sudah menjadi tradisi masyarakat di kampung Bandaran ini. Antara lain dapat kita lihat dari bahasanya dengan dialek yang sangat khas. Salah satu kebiasaan lain yang patut kita tiru menupakan kebiasaan menabung yang tidak hanya dalam bentuk uang melainkan juga dalam bentuk investasi masa depan misalnya dalam bentuk perhiasan emas dan sebagainya. Biasanya hasil tabungan ini digunakan para elayan untuk memperbanyak jumlah perahunya atau untuk membeli perahu mesin, kadang kala digunakan untuk naik haji yang merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu.

Nelayan mempunyai kemampuan untuk membaca arah angin, kapan air laut pasang dan kapan surutnya. Mereka juga mengetahui kapan bulan-bulan yang bagus buat menangkap ikan dan tangkapan apa yang akan mereka dapatkan. Kemampuan yang istimewa ini hanya dapat kita temui di desa nelayan yang tak hanya di desa nelayan ini.

Pada saat-saat dimana hasil tangkapan sangat minim didapat, para nelayan beralih menjadi pembuat kerupuk. Meskipun hanya pekerjaan sampingan, membuat kerupuk juga merupakan suatu pendapatan yang mencukupi bagi para nelayan. Kerupuk buatan nelayan ini terbuat dari hewan laut yang kemudian diberi nama terung-terung. Selain kerupuk, mereka juga membuat ikan kering, sotong kering.

Namun dalam hal ini sangat ironis jika diketahui akan eksisnya keberadaan tengkulak yang menjadi tempat para nelayan menjual hasil tangkapannya. Keberadaannya yang telah lama semakin eksis hingga perekonomian modern menampilkan KUD Mina pada kampung nelayan namun tidak pernah seberhasil desa nelayan di daerah lainnya.





Penggolongan Masyarakat Nelayan
Penggolongan sosial-ekonomi masyarakat nelayan dapat dilihat dari 3 sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan lainnya), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam golongan nelayan pemilik alat-alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi. Dalam kegiatannya, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa atau tenaganya dengan hak-hak yang sangat terbatas. Jumlah nelayan buruh di kampung nelayan sangatlah besar.

Dilihat dari segi tingkat modal usaha, struktur masyarakat nelayan terbagi menjadi golongan nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan besar menanamkan modal usahanya dalam jumlah besar, sedangkan nelayan kecil sebaliknya. Dipandang dari teknologi peralatan tangkapnya, masyarakat nelayan terbagi menjadi nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi peralatan tangkap yang canggih sehingga tingkat pendapatan dan kesejahteraan sosial ekonomi-nya jauh lebih tinggi. Nelayan modern ini jumlahnya relatif kecil dibandingkan nelayan tradisional.


Diskusi

Perkembangan peradaban manusia selalu berkembang sesuai dengan perjalanan waktu dan kemajuan di segala bidang. Namun kebutuhan akan ruang hunian terus menerus berada dalam pikiran manusia untuk mempertahankan kehidupannya. Seiring dengan perkembangan peradaban zaman, maka berkembang pula makna ruang hunian. Ruang hunian tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung, tetapi merupakan tempat beraktifitas, bersosialisasi dalam membangun karakter manusia yang lebih luas. Perbedaan budaya dan latar belakang manusia menjadikan fungsi dan makna ruang hunian berbeda. Perbedaan ini mengakibatkan beragamnya bentuk, letak, dimensi, dan karakter ruang hunian dalam rumah tinggal. Perbedaan secara fisik banyak diketahui melalui perubahan dan perkembangan rumah. Perubahan bentuk ruang hunian yang diikuti oleh perubahan bentuk rumah tentu menyesuaikan dengan latar belakang, pandangan, pemaknaan dan persepsi penghuni terhadap ruang hunian. Namun prosentase perkembangan bentuk ini banyak terjadi pada golongan rumah sederhana, sebagian pemiliknya adalah masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah. Berbagai aspek non fisik sangat mempengaruhi persepsi tersebut, sehingga penggalian keterangan melalui metode fenomenologi. Untuk membangun arah penelitian, terdapat dua hal utama yang akan digabungkan kedalam analisis yaitu aspek fisik meliputi ruang hunian dan aspek non fisik berupa faktor-faktor budaya, sosial, ekonomi, lingkungan dan lain-lain yang akan dikonstruksikan melalui lapangan.

Pola penempatan pemukiman di kampung Bandaran merupakan pola pemukiman morphologi arah daratan karena corak morphologi perumahan nelayan ini bermula dari tepi sungai yang kemudian berkembang ke arah daratan. Sungai menjadi sentral dari alur pemukiman nelayan karena sungai merupakan sesuatu hal yang paling penting dalam jalur transportasi khususnya bagi para nelayan. Kali Bandaran merupakan tempat yang strategis sebagai tempat pelabuhan kapal para nelayan karena kali Bandaran berhubungan langsung dengan laut lepas.

Pola yang terbentuk dari pemukiman nelayan berupa pola linier (tradisi) dengan struktur yang tidak beraturan yang menggunakan arsitektur vernakular. Tatanan pola linier yang terbentuk karena keberadaan kali Bandaran ini terus menerus berkembang seiring berjalannya waktu. Perkembangan ini terjadi karena lahan yang ada di sepanjang kali Bandaran telah terpakai. Kemudian para nelayan itu membuat rumah di belakang rumah yang telah terbangun tersebut sehingga dapat disebut sebagai rumah lapis kedua. Akses masuk dibuat membentuk jalur-jalur baru yang menjadikannya sebagai cabang dari pola linier tersebut. Pintu gerbang masuk ke kampung nelayan tersebut, ditandai dengan adanya balai RW.

Pada awal memasuki daerah perkampungan nelayan ini kita lebih banyak menyaksikan bangunan-bangunan umum seperti sekolah dasar, balai RW dan gudang penyimpanan. Jalur sirkulasi berupa jalan setapak terbuat dari beton dengan lebar 2-3 meter pada jalur utama dan 1 meter pada cabang-cabangnya atau gang-gangnya.

Rumah-rumah yang ada di kawasan kampung nelayan Bandaran ini tidak lagi mengikuti tatanan pola pemukiman tradisional Madura pada umumnya, disebabkan oleh telah masuknya berbagai pengaruh dari luar daerah. Walaupun terkadang ruang-ruang publik yang biasa terjadi pada arsitektur tradisional Madura telah tergantikan fungsinya sebagai jalur akses dan ruang berinteraksi antar sesama nelayan. Ruang publik ini dapat juga terjadi karena perluasan dari halaman dari rumah nelayan. Dalam kata lain, setiap keluarga memiliki ruang privat yang kecil karena rumah nelayan tersebut berupa rumah tunggal bukan rumah yang terdiri atas beberapa bangunan seperti arsitektur tradisional Madura.


Mulai dari perjalanan masuk kampung nelayan Bandaran ini kita dapat menemukan berbagai macam bentuk rumah dimana semakin kita berjalan terus ke dalam arsitekturnya semakin tradisional baik dari bahan maupun cara pengerjaannya. Mulai dari rumah yang memakai gaya modern dengan bahan bangunan yang modern juga hingga rumah gedeg yang terbuat dari bambu.

Perbedaan yang sangat mencolok pada tipe bangunan hunian ini membuat kita menyadari adanya pengklasifikasian dalam hidup bermasyarakat baik disadari secara langsung maupun tidak. Seperti yang terjadi pada kampung nelayan Bandaran ini, dimana terdapat bangunan yang modern seperti yang perlihatkan pada gambar di atas sangat mencolok. Pemilik bangunan ini pada umumnya seorang juragan yang mempunyai perahu lebih dari satu, merupakan nelayan yang memiliki modal yang cukup banyak seperti yang disebutkan pada sub bab penggolongan masyarakat nelayan. Bangunan rumah hunian yang ini mengikuti perkembangan model rumah daerah perkotaan. Terletak pada jalur utama yang dekat dengan fasilitas umum.



Pada daerah tertentu di kampung nelayan ini kita dapat menemukan beberapa rumah yang tipikal terdapat pada satu halaman yang luas. Pada umumnya penghuni rumah tersebut masih ada hubungan persaudaraan antara satu dengan yang lain. Yang mana pola ini yang diterapkan pada arsitektur tradisional Madura meskipun bentukan bangunannya telah melenceng dari bentukan bangunan tradisionalnya. Namun kadang kala terdapat bangunan yang setipe namun berupa bangunan kontrakan.

Di lain saat kita melihat berbagai macam hunian yang sangat sederhana. Seperti ungkapan ”rumah menunjukkan siapa penghuninya”. Penghuninya yaitu mereka yang berprofesi sebagai nelayan yang bermodal kecil (nelayan tradisional). Nelayan tradisional kesulitan mendapatkan modal atau mengembangkan modalnya karena tidak ada lembaga keuangan yang menopang perekonomian mereka. Akibatnya, untuk mengatasi kesulitan keuangan, nelayan banyak yang lari ke rentenir (lintah darat). Disebabkan karena mereka tidak dapat bersaing dengan para juragan-juragan yang bermodal lebih besar. Keterpurukan inilah yang selalu menjadi sorotan di media massa yang mana secara garis besar kampung-kampung nelayan yang berada di pesisir pantai maupun di sekitar alur sungai merupakan daerah yang berpotensial menambah angka kemiskinan di Indonesia. Masyarakat komunitas ini masih memakai jamban umum karena tidak setiap hunian mempunyai jamban di dalam rumah.

Paradigma lainnya yang muncul berupa pola hidup yang ditimbulkan oleh borjuisme sangat kental pengaruhnya bagi masyarakat. Pola hidup konsumtif, serba instans dan berpikir kekuasaan merupakan inti dari kehidupan borjuisme yang hidup dalam masyarakat pada umumya. Satu hal lain dari gerak urat nadi paradigma borjuisme adalah kapitalisme. Paradigma ini mencoba untuk mengetengahkan kekuatan modal sebagai daya pancing yang bertujuan untuk membuat individu atau masyarakat serba tergantung pada kekuatan kapital (modal). Kapitalisme yang beratiliasi dangan materialisme telah masuk ke ranah masyarakat dengan begitu dahsyatnya, sehingga masyarakat terbawa oleh paradigma ini dan menjadi sangat bergantung pada kekuatan modal. Efek semuanya adalah masyarakat mulai berpikir dan bertindak dengan modal. Pola interaksi masyarakat berdasarkan apa yang dapat diraih dan keuntungan apa yang dapat dicapai begitu pula yang terjadi pada masyarakat kampung nelayan ini.

Arsitektur dapat dipandang sebagai hasil interaktif antara manusia dengan alamnya, ia mewujudkan diri dari bentuk keseimbangan yang dinamis antara kondisi yang obyektif (teraga) dan subyektif (tidak teraga) dalam penghayatan dan penyesuaian dengan lingkungan alam. Manusia harus belajar terlebih dahulu dan harus menciptakan syarat-syarat sendiri untuk dapat menyesuaikan diri dengan hukum alam pada umumnya dan lingkungan alam khususnya dimana dia hidup. Kelebihan manusia dari mahluk hidup lainnya adalah bahwa manusia memiliki kekuatan yang unik dimana ia sadar mempelajari cara-cara mengatur kekuatan alam dan kemudian menyesuaikan diri padanya.Dengan demikian manusia, memiliki kemampuan untuk mengubah dan mengolah alam lingkungannya dengan keterampilan, pengetahuan dan teknologinya, dilain pihak manusia memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan alamnya (asimilasi). Arsitektur menurut teori ini adalah status dimana manusia sudah dapat beradaptasi dengan lingkungannya dalam bentuk keseimbangan teknologi dan alam. Jika anggapan diatas itu benar kita tarik kedalam ruang arsitektur sebagai hunian dan lingkungan, kelihatannya arsitektur dapat berperan banyak dalam merealisasikan adaptasi manusia dan lingkungan alam.

Belum lagi masalah ekonomi dan sosial tuntas, nelayan juga dipusingkan oleh kali Bngkalan yang menjadi dangkal dan kering sehingga perahu nelayan sulit berlabuh. Akibatnya sebagian besar dari nelayan menambatkan perahunya di pantai yang jaraknya cukup jauh dari rumah mereka sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengangkut hasil tangkapan mereka. Hal ini terjadi karena kali Bangkalan sudah lama tidak dilakukan pengerukan. Namun masalah ini mendapat tanggapan dari pemerintah setempat dan telah melakukan pengerukan. Hingga penulis tiba di kampung ini, nelayan masih sulit berlabuh di kali tersebut walaupun kali Bandaran tidak kering lagi.


Solusi/Gagasan

Melalui berbagai masalah sosio-ekonomi yang telah diuraikan di atas penulis memiliki sebuah gagasan dimana penulis berharap bahwa gagasan ini akan dapat dipakai dikemudian hari. Perkembangan desa nelayan yang mengikuti alur sungai akan merasa terhambat jalur transportasinya jika sungai mulai mengering. Dari masalah tersebut, penulis memberikan sebuah pilihan mengapa kampung nelayan tersebut tidak terletak di daerah pantai dengan suatu pengaturan yang telah ditentukan. Penambatan perahu nelayan di pantai dengan menggunakan suatu seperti sebuah dermaga dimana berbentuk seperti sebuah pohon bercabang yang menjorok ke arah lautan. Seperti yang kita lihat pada proyek yang sedang dilakukan di Dubai. Perbedaannya disini perlakuannya diberlakukan khusus bagi nelayan. Di setiap ujung-ujung dari cabang tersebut nelayan bisa memasang jaring untuk menangkap ikan jadi berupa tambak-tambak di tengah lautan. Sementara menungggu jaring tersebut penuh dengan ikan nelayan dapat berlayar ke tempat yang lain. Proyek ini dapat diberlakukan khusus bagi nelayan yang bermodal sedikit agar dapat menambah penghasilannya.

Permasalahan dengan para tengkulak memang dapat diselesaikan dengan KUD. Namun, terbukti KUD belum mendapat kepercayaan sepenuhnya oleh nelayan. Keadaan ini dapat dipulihkan dengan meningkatkan pelayanan KUD yang berpihak kepada nelayan. Baik dalam modal, investasi, tabungan, maupun simpan pinjam bahkan dapat pula berupa pemenuhan kebutuhan para nelayan baik kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan pengadaan peralatan yang digunakan untuk berlayar.
Permasalahan sosial lainnya yang berupa pengklasifikasian masyarakat dengan adanya solusi di atas sedikitnya dapat terkurangi bahkan bila rasa kebersamaan telah melekat disini. Tentunya semua itu tidak akan berjalan tanpa bantuan pemerintah dan masyarakat sekitar.


Kesimpulan

Alam sekitar dan sosioekonomi nelayan merupakan dua faktor yang paling utama yang memainkan peranan pembentukan corak perkampungan yang berdensiti tinggi. Faktor ini saling berkait-mengait diantara satu sama lain. Sosio ekonomi aktiviti mereka adalah menangkap ikan, maka untuk menjadi sebagai seorang nelayan, mereka perlu memiliki sebuah perahu. Naluri perahu ini mestilah bersangkut-paut dengan air sebagai medium supaya perahu itu berperanan sebagai sebuah pengangkutan yang akan membawa nelayan-nelayan ke laut untuk menangkap ikan.

Pola yang terbentuk dari pemukiman nelayan berupa pola linier (tradisi) dengan struktur yang tidak beraturan yang menggunakan arsitektur vernakular. Tatanan pola linier yang terbentuk karena keberadaan kali Bandaran. Rumah-rumah yang ada di kawasan kampung nelayan Bandaran ini tidak lagi mengikuti tatanan pola pemukiman tradisional Madura pada umumnya, disebabkan oleh telah masuknya berbagai pengaruh dari luar daerah. Walaupun terkadang ruang-ruang publik yang biasa terjadi pada arsitektur tradisional Madura telah tergantikan fungsinya sebagai jalur akses dan ruang berinteraksi antar sesama nelayan. Ruang publik ini dapat juga terjadi karena perluasan dari halaman dari rumah nelayan. Perbedaan yang sangat mencolok pada tipe bangunan hunian di kampung Bandaran ini membuat kita menyadari adanya pengklasifikasian dalam hidup bermasyarakat baik disadari secara langsung maupun tidak.

Daftar Pustaka

Kusnadi, M. 1 April-Juni (2005). Nelayan Perempuan, Kaum Terpinggirkan. Kalyanamedia Edisi II No.2.

Kusnadi, M. (2002). Konflik Sosial Nelayan. Yogyakarta :LkiS.

Kusnadi, M. (2003). Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta :LkiS.

Thojib, dkk. (1996). Studi Prilaku Thermal Arsitektur Rakyat Madura Barat di Bangkalan. Jurnal Universitas Brawijaya vol. 8 No. 2.

Tjiptoadmodjo, S. (1983). Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura (abad XVII sampai abad XIX ). Yogyakarta : UGM.

Wiyata, L. 17 Mei (2003). Perangkap Mismetodologis dalam Memahami Masyarakat Nelayan di Jawa Timur. Kompas.

0 komentar: